Abstract
The formalization of Islamic Shari’ah in the system of Indonesian law needs
long term. This formalization emerges a crucial problems. Historically, fact shows
that Indonesian Moslems have great desire to apply Islamic Shari’ah since the
arriving Islam in Indonesia, in the era of colony either in Dutch and Japan. Entering
the independence of Indonesian era there are several controversies and debates
among the founding fathers of Indonesia regarding the foundation of Indonesian
nationalist Moslem and the nationalist secular.
Kata kunci: formalisasi, syari’at Islam, hukum positif, dan sejarah.
- Pendahuluan
Sebelum Indonesia merdeka syari’at Islam ini sudah ada dan sudah
populer, dalam pembahasan ini tidak ada salahnya kalau kita tahu tentang
sedikit latar belakang munculnya syari’at Islam di Indonesia, membahas
formalisasi syari’at Islam perlu kiranya cuplikan latar belakang munculnya
kata-kata Syari’at Islam di Indonesia, yaitu adanya suatu keyakinan bahwa
“Islam adalah diatas dari segala-galanya”, termasuk adalah Islam merupakan
solusi dari segala permasalahan yang muncul di permukaan.
Imbasnya, mereka berusaha untuk menjadikan Hukum Islam sebagai
hukum publik, sebagai Negara yang berpenduduk umat Islam terbesar di
dunia, semangat menerapkan syari’at wajar jika dimunculkan. Menurut
sejarah, yang sangat mungkin dapat dijadikan rujukan, terutama pada masa sejarah awal kemerdekaan kita, perjuangan kelompok Islam untuk
memasukkan syari’at begitu kuat mengemuka saat itu, semangat yang
muncul ketika itu adalah menjadikan syari’at sebagai bagian dari ideologi
Negara.
Pertama, pada siding BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan
Indonesia, selalu dibumbui perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan
wakil Islam tentang ketentuan memasukkan tambahan tujuh kata di sila
pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya sebagaimana tercantum di
Jakarta Chapter atau lebih dikenal dengan Piagan Jakarta.
Kedua, pada sidang konstituante, dalam torehan sejarah yang terjadi
pasca pemilu 1955 itu terjadi tarik menarik antara kelompok Nasionalis
dengan kelompok Islam. Tema perdebatan juga sama yakni pro dan kontra
seputar keinginan menjadikan syari’at Islam diterapkan sebagai bagian dari
hukum Indonesia. Tetapi karena beberapa kali deadlock, dan tidak jadinya
rumusan Negara membuat Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia
mengambil alih konstituante sehingga lahirlah Dekrit Presiden, 5 juli 1959,
maka perjuangan umat Islam itupun kandas lagi.
Ketiga, seiring lamanya kendali Orde Baru yang dikomandani Soeharto
selaku Presiden, yang menabukan aspirasi, nuansa untuk menerapkan
syari’at Islam pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para umat Islam.
Berubahnya zaman, adanya reformasi, runtuhnya rezim Orde Baru yang
dikomandoi oleh Soeharto dan kroni-kroninya membuat keinginan untuk
mengamandemen Undang-undang Dasar dan memasukkan tujuh kata itu
pun muncul lagi. Di tengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa
waktu lalu, beberapa kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam
Jakarta.
Perdebatan yang berlangsung sejak zaman kemerdekaan tersebut,
seakan menjadi justifikasi historis bahwa perdebatan dan keinginan
menerapkan syari’at Islam tersebut merupakan keharusan sejarah. Jadi
sangatlah beralasan kalau saat ini pejuang penegakan syari’at Islam di
daerah-daerah begitu bersemangat menuntut ditegakkannya syari’at Islam.
Tetapi perlu diingat bahwa perdebatan seputar penegakkan syari’at Islam
ini akan terus memperpanjang konflik antara kelompok nasionalis dengan
kelompok Islam, kalau seandainya bisa memasukkan syari’at sebagai hukum
publik di Indonesia, banyak masalah besar yang akan menghadang. Nah,
di sinilah tampaknya kita perlu mengedepankan maslahah. Ada kaidah
ushul fiqh yang patut untuk kita kedepankan; menarik kemaslahatan dan
menghilangkan kerusakan (jalb al masalih muqoddamun ‘ala daf’ al mafasid)
dan kaedah ke dua, apabila ada dua pilihan yang tidak menguntungkan,
ambillah mana yang paling sedikit madharatnya, (akhafu al darurain). Atau
sebagaimana diungkapkan asy- Syatibi, dalam menyikapi nash-nash syari’ah
kita harus mengambil inti atau maksud syara’ (maqasid al syari’ah).
Dengan demikian proyeksi untuk memahami syari’at adalah manusia
sebagai pertimbangan untuk menciptakan kemaslahatan. Ibnu Qoyyim
al- Jauziyah dalam I’lam al Muwaqiin ‘an Rabbil ‘alamin bahwa syari’at
adalah maslahat, apa yang telah menarik maslahat kepada mafsadat maka
sesungguhnya itu bukanlah syari’at. Pendek kata apa yang harus dilakukan
terhadap syari’at saat ini adalah dengan”memanusiakan atau humanisasi
syari’at Islam”.
Kita tentu tidak ingin persoalan diselesaikan secara simplistis dan
normative. Agama harus dikembalikan kepada fungsinya sebagai pengatur
keseimbangan kosmos dan menentang segala bentuk imperialisme.
Perdebatan perebutan medan makna agama yang tercermin dalam pro
kontra seputar pelaksanaan syari’at Islam di daerah-daerah juga harus
dikembalikan kepada empat fungsi agama yang paling hakiki, yakni fungsi
edukatif, fungsi Pengawasan sosial, fungsi profetis atau kritis serta fungsi
transformative. (Justisia Fakultas Syari’ah Walisongo: Semarang)
- Seputar Syari’at Islam
Syari’at Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual dan ideologi
politik. Spiritualisme Islam telah membahas pribadi manusia dengan Allah
yang terangkum dalam akidah dan ubudiah, sebaliknya ideologi politik
Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum dalam
hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya,
baik menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, politik luar negeri,
pendidikan, dan sebaginya.1
Namun demikian, bila membicarakan syari’at dalam arti hukum
Islam, maka terjadi pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum.
Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah
hukum privat dan hukum publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum
barat karena dalam hukum privat terdapat segi-segi hukum publik; demikian
pula sebaliknya dalam hukum publik terdapat pula segi-segi hukum privat.
Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fikih Islam meliputi : munakahat,
warisan, muamalat dalam arti khusus, jinayah atau uqubat, al-ahkam assulthoniyah
(khilafah), siyar, dan mukhasamat.2
Apabila Hukum Islam itu disistematisasikan seperti di dalam tata hukum
Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam
- Tentang Hukum Perdata
Hukum Perdata (Islam) meliputi: a. Munakahat, mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian serta akibatakibat
hukumnya, b. wirasah, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli
waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam
ini disebut juga hukum faroid, c. muamalat, ialah dalam arti yang khusus,
mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,
perserikatan, kontrak dan sebagainya.
- Tentang Hukum Publik
Hukum Publik (Islam) meliputi: a. Jinayah, yang memuat aturan-aturan
mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam
jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah
adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana
yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan
As-Sunnah(hudud jamaknya hadd, artinya batas). Jarimah ta’zir adalah
perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan
oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya: ajaran atau
pelajaran); b. al-ahkam as-sulthoniyah, membicarakan permasalahan yang
berhubungan dengan kepala Negara/pemerintahan, hak pemerintah pusat
dan daerah, tentang pajak, dan sebagainya; c. Siyar, mengatur urusan
perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama lain dan Negara
lain; dan d. mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum
acara.
Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti
luas tersebut dibandingkan dengan susunan hukum Barat, seperti dalam
ilmu-ilmu hukum, maka munakahat, dapat disamakan dengan hukum
perkawinan; wirasah/faroid sama dengan hukum kewarisan; muamalat
dalam arti khusus sama dengan hukum benda dan hukum perjanjian,
jinayah/uqubat sama dengan hukum pidana; al-ahkam assulthoniyah sama
dengan hukum ketatanegaraan, yaitu tata Negara dan administrasi Negara;
siyar sama dengan hukum internasional; dan mukhasamat sama dengan
hukum acara.
- Penutup
Denganmencermati dan memperhatikan paparan berbagai aspek di
atas, maka kajian teoritis dan empiris terhadap formalisasi syari’at Islam
dalam tata hukum Indonesia ini perlu direkomendasikan kepada masyarakat
Indonesia, khususnya umat Islam, bahwa formalisasi syari’at Islam harus
tetap ditempuh, diantaranya secara politis-yuridis sebagai wujud tuntutan
akidah. Namun demikian, cara yang ditempuh tidak perlu lagi secara politisideologis
di tingkat konstitusi, melainkan cukup dengan memproses legislasi
syari’at Islam setingkat peraturan dan perundang-undangan, seperti yang
saat ini telah berlaku. Hanya cakupan wilayah hukumnya perlu diperluas
lagi, selain di bidang ubudiyah dan muamalah juga ke bidang ekonomi dan
jinayah yang justeru lebih strategis dalam memberdayakan ekonomi umat
serta menciptakan keamanan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat
dan bangsa Indonesia.
nak hkum juga ya???
BalasHapusvisit & follow back blog gue yaa :)
www.maviadotcom.blogspot.com